Jakarta, Techtimes Indonesia – Kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump mulai menimbulkan efek nyata terhadap perekonomian Indonesia.
Kebijakan ini diberlakukan sebagai langkah balasan terhadap negara-negara yang sebelumnya menerapkan tarif masuk terhadap produk AS.
Indonesia termasuk salah satu negara yang kini dikenai tarif tinggi, yang disebut-sebut bisa mencapai 32%.
Para ekonom menyebut setidaknya terdapat lima indikator utama yang menunjukkan tekanan kebijakan ini terhadap stabilitas ekonomi nasional.
1. Rupiah Mulai Tertekan
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Evalita Situmorang, menilai kebijakan Trump meningkatkan ketidakpastian global yang berdampak langsung pada pelemahan nilai tukar rupiah.
“Tekanan terhadap mata uang, rupiah bisa melemah,” ujar Hosianna.
Surplus neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2025 sebesar US$3,12 miliar menunjukkan tren penurunan dibandingkan bulan sebelumnya.
Ekonom senior INDEF, Didin S. Damanhuri, juga memperkirakan nilai tukar rupiah bisa terus melemah hingga melewati angka psikologis Rp17.000 per dolar AS.
“Akan terjadi depresiasi rupiah, yang saat ini pun sudah Rp16.700/US$,” ucap Didin.
Pagi ini, nilai tukar rupiah di pasar offshore tercatat Rp16.798 per dolar AS, mendekati level tertinggi dalam beberapa bulan terakhir.
Pergerakan tajam di pasar forward turut meningkatkan potensi volatilitas di pasar spot dalam waktu dekat.
2. Bayang-bayang PHK Besar
Didin mengingatkan bahwa depresiasi rupiah akibat kebijakan tarif AS berisiko memukul sektor industri, terutama perusahaan yang memiliki beban biaya berbasis dolar AS.
“Sehingga bisa terancam pailit atau bangkrut dan dalam waktu dekat mereka kemungkinan memilih PHK sebagai upaya rasionalisasi korporasi,” katanya.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sebanyak 18.610 pekerja terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) selama dua bulan pertama tahun 2025.
3. Daya Saing Ekspor Indonesia Terancam Anjlok
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai tarif 32% yang dikenakan AS terhadap Indonesia sangat memukul industri padat karya yang selama ini mengandalkan ekspor ke pasar AS.
Sektor seperti tekstil, mebel, dan alas kaki berpotensi kehilangan daya saing karena harga jual yang terdongkrak tarif, membuat pembeli berpaling ke negara lain.
Padahal, neraca perdagangan Indonesia dengan AS masih mencatatkan surplus tertinggi dibanding mitra dagang lainnya, yaitu sebesar US$1,57 miliar pada Februari 2025.
Setelah AS, Indonesia juga mencatatkan surplus dengan India sebesar US$1,27 miliar dan Filipina sebesar US$753,3 juta.
“Komoditas penyumbang surplus Februari 2025, negara Amerika Serikat tentu surplus didorong mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian dan asesoris (rajutan) dan alas kaki,” jelas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti.
4. Penerimaan Pajak Kian Seret
Didin juga memperingatkan bahwa rangkaian dampak tersebut akan berujung pada turunnya penerimaan negara dari sektor perpajakan.
“Akan terjadi makin turunnya penerimaan pajak dari pemerintah yang terakhir ini pun sudah turun 30%,” ujarnya.
Kementerian Keuangan mencatat realisasi pendapatan negara hingga Februari 2025 hanya mencapai Rp316,9 triliun, turun 20,84% dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Penerimaan perpajakan tercatat Rp240,4 triliun, anjlok 24,8% dari tahun lalu, sementara penerimaan pajak hanya Rp187,8 triliun.
“Penerimaan perpajakan ini termasuk penerimaan pajak pada Februari 2025 yang sebesar Rp187,8 triliun,” ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Realisasi bea cukai hanya mencapai Rp52,6 triliun, sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berada di angka Rp76,4 triliun.
Padahal, target penerimaan pajak dalam APBN 2025 sebesar Rp2.490,9 triliun, atau meningkat 7,84% dari tahun sebelumnya.
5. IHSG Turun, Pasar Saham Bergejolak
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyebut tekanan terhadap pasar saham nasional makin berat seiring meningkatnya risiko global dan ketegangan perdagangan.
“IHSG akan makin volatile dan cenderung melemah,” katanya.
Indonesia menjadi salah satu negara ASEAN yang dikenai tarif tinggi karena surplus perdagangan dengan AS dianggap terlalu besar.
Di kawasan ASEAN, Kamboja terkena tarif tertinggi sebesar 49%, disusul Laos 48%, Vietnam dan Myanmar masing-masing 46%, Thailand 36%, dan Indonesia 32%.
Malaysia, Filipina, dan Singapura masing-masing dikenakan tarif lebih ringan, yakni 24%, 17%, dan 10%.
Rata-rata tarif tambahan AS untuk negara-negara ASEAN mencapai 36%, dan Trump menyatakan tarif bisa diturunkan jika hambatan perdagangan dibuka sepenuhnya.