Techtimes Indonesia – Beberapa tahun lalu, jadi influencer itu goals banyak orang. Konten yang estetik, kolaborasi sama brand ternama, dapat produk gratis, plus uang jutaan dari sekali posting.
Tapi sekarang? Banyak brand mulai mikir dua kali buat investasi di influencer marketing. Bukan karena nggak penting, tapi karena… ya, orang-orang sudah mulai muak.
Fenomena ini dikenal dengan istilah influencer fatigue. Istilah ini makin sering dibahas di dunia digital marketing, apalagi di tahun 2025 ini.
Nggak sedikit brand dan audiens mulai merasa capek, bosan, bahkan nggak percaya lagi sama konten yang “terlalu kelihatan jualan”.
Jadi, apa sih sebenarnya yang bikin influencer marketing sudah nggak sekuat dulu?
1. Followers Cerdas, Nggak Bisa Dibodohi Lagi
Dulu, konten endorse bisa kelihatan natural. Sekarang, netizen sudah hafal pola-pola promosi.
Judulnya “rekomendasi jujur”, tapi ternyata isinya skrip dari brand. Mereka bisa bedain mana yang beneran kamu suka, dan mana yang kamu posting karena dibayar.
Sekarang, Gen Z makin kritis. Mereka lebih percaya ulasan jujur dari sesama pengguna di Twitter, forum, atau bahkan komentar YouTube.
Jadi kalau kamu content creator yang cuma ngejar cuan dari produk-produk random, siap-siap aja ditinggalin audiens.
2. Like Banyak, Tapi Nggak Ngaruh ke Penjualan
Brand sudah capek lihat angka-angka gede tapi nggak berdampak apa-apa. “Kok views-nya 200K tapi yang beli cuma 3 orang?”
Banyak konten dari influencer sekarang cuma viral karena lucu atau relatable, tapi nggak bikin orang action. Engagement tinggi, tapi konversi rendah.
Apalagi sekarang algoritma platform makin susah ditebak. Konten kamu nggak selalu nyampe ke semua followers.
Jadi, buat brand, kerja sama dengan influencer makin riskan dan nggak bisa diprediksi hasilnya.
3. Harga Endorse Naik, Hasil Nanggung
Influencer, bahkan yang mikro sekalipun, sekarang sudah pasang rate tinggi. Tapi di sisi lain, brand makin dituntut hemat anggaran.
Akhirnya mereka mikir, “Mending uangnya buat ads yang bisa ditarget langsung ke orang yang niat beli.”
Konten dari influencer juga cepat mati—lifetime-nya bisa cuma 2–3 hari. Setelah itu? Tenggelam.
Jadi kalau kamu cuma ngandelin kerja sama brand tanpa strategi konten jangka panjang, siap-siap jadi usang.
4. Banjir Influencer, Nggak Lagi Eksklusif
Sekarang, semua orang bisa jadi influencer. Tapi justru karena itu, audiens bingung harus percaya siapa.
Apalagi kalau satu produk dipromosiin banyak orang sekaligus, jadi kelihatan kayak spam.
Yang lebih parah? Banyak influencer yang terlalu “multibrand”—hari ini promosi skincare A, besok skincare B yang klaimnya berlawanan.
Audiens pun ngerasa dibohongi. Kredibilitas? Drop.
5. Konsumen Lebih Pilih Komunitas dan Review Asli
Gen Z dan calon pembeli sekarang lebih nyaman dapat info dari komunitas atau review dari pengguna biasa.
Mereka lebih percaya konten real, dari orang-orang yang beneran pakai produk, bukan dari selebgram dengan filter dan pencahayaan sempurna.
Brand pun mulai beralih ke strategi yang lebih autentik: bangun komunitas, bikin user-generated content, dan kasih spotlight ke pelanggan yang puas.
Influencer tetap bisa relevan, tapi bukan lagi bintang utama.
6. Strategi Baru Lebih Efektif dan Terukur
Brand mulai beralih ke:
- Performance ads yang langsung bisa di-track hasilnya
- Email marketing buat komunikasi personal
- SEO dan konten blog yang tahan lama
- Komunitas loyal yang jadi duta brand tanpa dibayar
Strategi ini lebih hemat, bisa dikontrol, dan ROI-nya jelas. Buat content creator, ini jadi sinyal: kalau kamu cuma ngandelin “jadi influencer”, kamu bisa ketinggalan tren.
Jadi, Gimana Biar Nggak Kena Influencer Fatigue?
Kalau kamu content creator atau baru mulai jadi influencer, penting banget untuk evaluasi caramu membangun brand diri:
- Jujur dan transparan. Audiens bisa bedain mana yang niat dan mana yang sekadar formalitas.
- Tolak kerja sama yang nggak cocok. Jaga integritas > kejar cuan.
- Bangun komunitas, bukan cuma followers. Fokus ke keterlibatan nyata, bukan angka.
- Kembangkan personal branding yang kuat dan punya misi. Jangan cuma jadi papan iklan berjalan.
- Eksplorasi pendapatan dari banyak sumber. Misalnya: jual produk sendiri, bikin kelas, bikin konten berbayar.
Influencer Masih Relevan, Tapi Harus Adaptif
Influencer marketing belum mati, tapi sudah bukan strategi andalan yang bisa berdiri sendiri.
Buat kamu yang bercita-cita jadi influencer atau content creator, penting banget untuk punya nilai lebih dari sekadar endorsement.
Di era influencer fatigue, hanya kreator yang otentik, adaptif, dan punya koneksi kuat dengan audiens yang bisa bertahan.
Siap bertransformasi?
Silakan login untuk meninggalkan komentar:
Komentari lewat Facebook