Techtimes Indonesia – Desember lalu, kabar mengejutkan datang dari industri pertelevisian nasional. ANTV dikabarkan telah memutus hubungan kerja dengan seluruh tim produksinya.
Hingga kini, belum ada keterangan resmi dari pihak stasiun televisi tersebut. Belum reda isu itu, giliran Net TV yang disebut telah diakuisisi oleh konglomerat digital, dan terbaru, iNews TV secara resmi pamit dari siaran terestrial.
Fenomena ini menandai apa yang banyak disebut sebagai senjakala televisi.
Disrupsi Digital: Saat Televisi Tak Lagi Jadi Pilihan Utama
Dulu, televisi adalah raja informasi dan hiburan. Tapi sekarang, posisi itu perlahan digeser oleh media digital.
Kehadiran YouTube, TikTok, dan berbagai layanan streaming seperti Netflix atau Vidio, membuat banyak orang—khususnya generasi muda—lebih memilih menonton apa yang mereka suka kapan pun mereka mau.
Kamu tak perlu lagi menunggu jam tayang sinetron atau acara favorit. Cukup buka aplikasi, dan semua tersedia.
Inilah bentuk nyata dari disrupsi digital, di mana kebiasaan konsumsi konten berubah drastis hanya dalam waktu beberapa tahun.
Perubahan Gaya Hidup: Mobilitas Tinggi, Konten Serba Cepat
Selain faktor teknologi, gaya hidup masyarakat juga berubah. Banyak orang kini memiliki mobilitas tinggi dan waktu luang yang lebih terbatas.
Dalam kondisi ini, konten pendek, ringan, dan instan menjadi primadona. Inilah yang membuat televisi dengan format panjang dan jadwal tetap terasa kurang fleksibel.
Misalnya, saat kamu sedang menunggu antrean atau di perjalanan, kamu bisa menonton konten di ponselmu dengan mudah.
Bandingkan dengan TV konvensional yang butuh perangkat dan waktu khusus untuk menonton.
Senjakala Televisi, Saat TV Kehilangan Daya Tarik
Salah satu tantangan besar televisi hari ini adalah kehilangan relevansi di mata generasi muda.
Menurut riset We Are Social, persentase penonton televisi dari kalangan Gen Z terus menurun tiap tahun.
Mereka lebih aktif di platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube yang memungkinkan interaksi dua arah dan personalisasi.
Generasi muda tak hanya ingin menonton, mereka juga ingin engage—berinteraksi, memberi komentar, bahkan ikut membuat konten.

Model Bisnis TV yang Stagnan
Selain perubahan preferensi audiens, model bisnis televisi konvensional juga dinilai tidak lagi adaptif.
Pendapatan iklan yang dulu jadi tulang punggung kini tergerus oleh iklan digital yang lebih terukur dan tepat sasaran.
Brand-brand besar mulai mengalihkan budget iklannya ke platform seperti Google Ads atau Instagram Ads yang memiliki targeting lebih spesifik.
Hal ini tentu memengaruhi pendapatan stasiun televisi dan berujung pada efisiensi besar-besaran, termasuk PHK.
Berbagai TV Nasional Mulai Rebranding atau Mundur Perlahan
Net TV yang sempat hadir sebagai televisi urban-friendly kini diisukan telah diambil alih.
Sementara itu, iNews TV, yang dikenal sebagai TV berita milik grup MNC, resmi mengakhiri siaran digitalnya.
Perubahan besar juga terjadi di stasiun lain seperti RTV dan Trans7 yang mulai mengandalkan tayangan ulang atau konten daur ulang dari platform digital.
Ini bisa dibaca sebagai upaya bertahan dalam menghadapi perubahan besar.
Akankah Televisi Hilang Sepenuhnya?
Belum tentu. Televisi mungkin tidak akan benar-benar hilang, tapi fungsinya akan berubah.
Ia mungkin akan beralih dari media massa utama menjadi media pelengkap. Bahkan kini, beberapa stasiun TV mulai menyesuaikan diri dengan mengembangkan platform digitalnya sendiri, seperti RCTI+ dan Vidio milik Emtek Group.
Mereka juga mulai menyasar segmen pasar yang belum tersentuh internet, seperti masyarakat pedesaan atau generasi tua yang masih loyal pada TV konvensional.

Peluang Kolaborasi: TV dan Digital Tak Harus Bersaing
Daripada terus bersaing, justru ada peluang besar bila televisi konvensional mau berkolaborasi dengan platform digital.
Salah satu contohnya adalah dengan membuat content repurposing—tayangan TV yang diedit ulang untuk format YouTube Shorts atau TikTok.
Beberapa program seperti Tonight Show milik NET atau Lapor Pak! dari Trans7 terbukti mampu mendulang jutaan views di YouTube.
Ini menunjukkan bahwa konten televisi masih bisa relevan, asalkan disesuaikan dengan karakteristik audiens digital.
Era Baru Butuh Adaptasi Baru
Senjakala televisi bukan berarti akhir dari segalanya, melainkan sinyal untuk berubah.
Stasiun TV yang mampu beradaptasi dengan pola konsumsi baru dan gaya hidup digital masih punya peluang untuk bertahan—bahkan berkembang.
Kamu yang ingin terjun ke industri media juga perlu memahami bahwa masa depan informasi adalah lintas platform, interaktif, dan berbasis preferensi personal.
Bukan lagi siapa yang punya antena paling tinggi, tapi siapa yang paling bisa nyambung dengan audiensnya.
Adaptasi ini bisa dimulai dari mengubah cara berpikir. Industri media tidak lagi cukup hanya memproduksi konten berkualitas, tetapi juga harus tahu bagaimana distribusinya bekerja di ekosistem digital.
Mulai dari memahami algoritma media sosial, mengoptimalkan SEO, hingga memanfaatkan data analytics untuk memahami pola perilaku penonton, semuanya menjadi bagian penting dalam strategi bertahan.
Lebih dari itu, industri televisi juga harus membuka diri terhadap kolaborasi lintas industri.
Bekerja sama dengan kreator konten independen, startup teknologi, hingga komunitas digital bisa menjadi jalan baru untuk memperluas jangkauan sekaligus membangun relevansi.
Adaptasi bukan hanya soal bertahan, tapi juga tentang keberanian untuk mencoba hal-hal baru dan merangkul perubahan yang tak terhindarkan.
Silakan login untuk meninggalkan komentar:
Komentari lewat Facebook