Techtimes Indonesia — Suatu pagi di akhir Januari 2010, dunia melihat sebuah benda persegi panjang berlayar lebar diperkenalkan dari atas panggung yang dibangun dengan sangat rapi di markas Apple, California.
Di tangan seorang lelaki berkacamata bundar, berpakaian hitam dari atas ke bawah, perangkat itu tampak sederhana, bahkan terlalu biasa. Tapi nama yang diberikan padanya menyimpan ambisi besar: iPad.
Benda itu seolah menjadi jawaban atas pertanyaan yang belum sempat diajukan.
Antara ponsel yang terlalu kecil dan laptop yang terlalu berat, iPad hadir tanpa diminta, tanpa tahu pasti akan digunakan untuk apa. Dan karena itulah ia dicibir.
Komunitas teknologi, para analis bisnis, hingga rival-rival Apple yang lebih dulu bermain di pasar perangkat genggam, menertawakan tablet baru ini. Mereka menyebutnya sebagai versi membesar dari iPhone.
Terlalu besar untuk dibawa-bawa, terlalu mahal untuk dibeli, dan terlalu minim fungsi untuk bersaing.
Membaca yang Tak Terlihat
Namun, Steve Jobs melihat sesuatu yang tak dilihat orang lain. Dalam presentasi selama 90 menit itu, ia tak hanya menjelaskan fitur.
Ia menceritakan kebutuhan yang belum terpenuhi, menjembatani kesenjangan antara mobilitas dan produktivitas, antara hiburan dan kerja, antara waktu luang dan waktu penting.
“Kecerdasan bukan sekadar bakat bawaan, melainkan kemampuan melihat hubungan yang tidak terlihat oleh orang lain,” katanya suatu waktu—sebuah kalimat yang kini terasa seperti nubuatan.
Dalam iPad, Jobs dan tim Apple menyematkan bukan hanya chip dan layar sentuh, tapi juga visi. Mereka percaya bahwa kelak, orang akan membaca, menulis, menggambar, dan bekerja melalui perangkat seperti itu.
Mereka percaya bahwa meski hari itu iPad ditertawakan, satu dekade kemudian dunia akan bergantung padanya.
Waktu Menjawab Segalanya
Lima belas tahun berlalu. Tanggal 3 April 2025, iPad tidak lagi berada di pojok skeptisisme. Ia berada di puncak piramida.
Sebuah laporan dari Canalys menunjukkan bahwa pada kuartal IV 2024, Apple berhasil mengirimkan lebih dari 16 juta unit iPad ke seluruh dunia—lebih banyak dari merek manapun, dengan pangsa pasar 42,3 persen.
Jika dihitung sepanjang tahun, total pengiriman iPad mencapai 56,919 juta unit. Sebuah angka yang mengukuhkan posisinya sebagai tablet paling laris sejagat.
Samsung yang berada di posisi kedua, hanya memegang 17,8 persen. Lalu diikuti Lenovo, Huawei, Xiaomi, dan merek lain yang berserakan seperti fragmen-fragmen dari ambisi yang tak pernah utuh.
Sebuah Nama, Sebuah Warisan
Sebelum diberi nama iPad, perangkat ini sempat diperkirakan akan bernama iSlate. Nama yang lebih teknis, lebih kaku, dan mungkin tak akan bertahan lama di lidah publik.
Tapi Apple memilih “iPad”—sebuah nama yang sederhana, mudah diingat, dan terasa personal. Ia seperti buku catatan digital yang bisa dibawa ke mana saja, digenggam oleh siapa saja.
Sejak saat itu, Apple telah merilis lebih dari 30 model. Dari iPad generasi ke-11 yang hadir tahun ini, iPad Mini 7, hingga iPad Air dan Pro dengan kemampuan grafis dan AI yang nyaris setara laptop profesional.
Bukan Sekadar Tablet
Yang membuat iPad berbeda dari pesaingnya bukan hanya desain, daya tahan, atau layar retina-nya. Melainkan ekosistem yang melingkupinya.
Sebuah dunia kecil yang dibangun Apple dengan detail dan kesabaran. Di dalamnya, pengguna bisa berpindah dari iPhone ke MacBook, dari Apple Pencil ke iCloud, tanpa kehilangan apa pun.
Perangkat ini bukan hanya alat. Ia adalah cara berpikir. Ia menjadi kanvas untuk para seniman, layar belajar bagi pelajar, dan ruang kerja fleksibel bagi pekerja remote.
Ia bukan sekadar produk teknologi, melainkan representasi dari bagaimana visi dan keberanian bisa mengalahkan keraguan dan olok-olok.
Dari Cacian Menjadi Panutan
Kini, saat iPad merayakan ulang tahunnya yang ke-15, kita melihat kembali ke masa ketika dunia mencemoohnya. Lalu diam-diam kita mengaguminya, lalu menginginkannya, dan akhirnya memilikinya.
Seolah-olah, dari awal kita tahu bahwa iPad memang ditakdirkan untuk mengubah cara kita hidup.
Tapi sejatinya, ia hanyalah sebuah benda.
Yang membedakannya adalah cerita yang ia bawa—tentang keyakinan melawan keraguan, tentang ide yang tampak konyol namun akhirnya membentuk masa depan.
Dan seperti banyak warisan yang ditinggalkan Steve Jobs, iPad adalah salah satunya yang paling abadi.