Cerpen Setiawan Chogah
Bagaimana kabarmu di malam yang bening ini, Za? Aku yakin kamu masih seperti dulu—masih anggun dengan wajah teduhmu dikala tidur. Ups! Maaf, aku lupa bercerita soal ini, kalau dulu, aku suka melabuhkan pandanganku ke wajahmu, ketika kamu tertidur pulas di sepanjang jalanan Serang—Labuan.
Atau barangkali kamu belum tidur? Sama seperti mataku yang saban malam begitu sulit untuk terpejam. Aku jadi ingat pembicaraan kita menjelang sore di terminal Pakupatan dulu. Waktu itu kita sama-sama menunggu bus Murni Jaya. Bus yang akan membawa kita ke Banten Selatan. Ke Labuan. Awalnya aku malu-malu, lalu aku beranikan diri menyapamu, diawali dengan senyum yang aku ramu semanis mungkin.
“Haiii,” aku membuka pembicaraan.
Kamu melengok ke arahku, lalu membalas dengan senyuman yang tak kalah manis. Senyumku kalah.
“Mau bareng lagi?” kamu bertanya, tepatnya bercanda. Ah, kamu selalu bisa membuat aku begitu bersemangat untuk bisa satu bus denganmu, Za. Candamu, tawamu, pertanyaan-pertanyaan konyolmu itu, aku suka.
Warna emas berhias di langit Serang saat kita mulai menduduki jok apek bus Murni Jaya. Kamu memilih duduk dekat jendela. Katamu padaku, “aku di pojok, ya. Mau menikmati sore yang membentang.” Lalu aku selalu mengalah, bagiku kesenanganmu adalah berkah, Za. Bagaimana tidak, melihatmu tengah asyik menikmati hamparan sore, itu sebuah pemandangan yang jauh lebih mengasyikan bagiku. Ah! Zahara, andai saja….
Puas melepas senyum, kamu kadang tercenung, lalu pandangan kagum dan takjub membias dari wajahmu. Kali itu entah mengapa kamu mendapatiku tengah memperhatikanmu. Aku kelabakan—kikuk bagai kucing kedapatan mencuri ikan. Sesaat pandangan kita bertaut.
“Mata kita sama ya, Ri,” tiba-tiba kamu berkata.
“Oh ya?” tanyaku dengan nada heran-tentu saja masih dengan rona kikuk.
Lalu kamu kembali menyulam senyum. Duhai, sungguh aku tak kuasa menahan rasa kagum.
“Iya, setelah beberapa kali aku perhatikan, mata kita sama. Sama-sama mengagumi keelokan suasana sore. Sama-sama mencintai pemandangan dari bus Murni Jaya.
Aih, kamu tahu, Za? Tiba-tiba dadaku berguncang hebat. Anganku melayang ke awang-awang. Mengepak sepasang sayap yang tumbuh di kedua belah bahuku. Begitu tiba-tiba. Kata-katamu itu begitu sukses membuatku menggelinjang, lupa kalau saat ini tengah berada di tengah suasana sesak bus Murni Jaya. Semua itu gara-gara kamu.