Washington DC, Techtimes Indonesia –Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang cukup mengejutkan.
Semua negara akan dikenakan tarif sebesar 10%, namun beberapa mitra dagang utama seperti China, India, Uni Eropa, hingga Indonesia akan terkena tarif lebih tinggi.
Tarif Naik hingga 50%, Indonesia Tak Luput
Tarif yang dikenakan pemerintah AS kali ini berkisar antara 10% hingga 50%, tergantung negara asal produk. Indonesia termasuk salah satu negara yang terdampak, dengan tarif impor yang dilaporkan mencapai 32%.
Langkah ini merupakan bagian dari strategi Trump untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dan menekan dominasi produk asing di pasar domestik AS.
“Resiprocal. Artinya, jika mereka mengenakan tarif pada kami, kami akan melakukan hal yang sama kepada mereka,” ujar Trump dalam sebuah acara di Rose Garden, Gedung Putih, dikutip dari USA Today.
Tarif Timbal Balik: Upaya Membalas Tarif Tinggi dari Negara Lain
Kebijakan reciprocal tariffs atau tarif timbal balik ini muncul sebagai tanggapan atas tarif tinggi yang diberlakukan sejumlah negara terhadap barang-barang ekspor AS.
Trump menilai sistem perdagangan internasional selama ini tidak adil bagi AS karena banyak negara mematok tarif tinggi, sementara AS justru terlalu longgar.
Melalui kebijakan ini, AS berupaya memberlakukan tarif setara terhadap negara-negara yang dianggap merugikan perdagangan Amerika.
Mengusung Prinsip America First, Trump Ingin Aturan Main Diubah
Sejak awal masa kepemimpinannya, Trump dikenal dengan pendekatan perdagangan yang proteksionis melalui prinsip “America First”.
Ia percaya bahwa tarif impor dapat menjadi alat untuk melindungi industri dalam negeri sekaligus memperkuat posisi tawar AS dalam perundingan dagang.
Menurut Trump, langkah ini adalah cara untuk “mengoreksi” ketidakseimbangan perdagangan yang telah berlangsung lama.
China Kena 34%, Uni Eropa 20%, Indonesia 32%
Dalam presentasinya di Gedung Putih, Trump menunjukkan grafik tarif yang diberlakukan terhadap sejumlah negara. China dikenakan tarif sebesar 34%, Uni Eropa sebesar 20%, dan Indonesia mencapai 32%.
Meski belum jelas bagaimana angka-angka tersebut dihitung, Trump menyebut bahwa Dewan Penasihat Ekonomi Gedung Putih mengkalkulasi berdasarkan berbagai faktor seperti manipulasi mata uang dan hambatan non-tarif.
Ekonom: Dampaknya Bisa Picu Inflasi dan Tekanan pada Industri
Para ekonom memperingatkan bahwa kebijakan tarif ini bisa memicu lonjakan harga barang impor di pasar AS.
“Pemerintahan Trump pada dasarnya menerapkan berbagai tarif secara besar-besaran terhadap mitra dagang kita,” ujar Ryan Sweet, kepala ekonom AS di Oxford Economics.
“Jika tarif ini tetap berlaku, hal ini akan memberikan dampak buruk bagi perekonomian, meskipun tidak sampai menjatuhkannya sepenuhnya. Saya tidak berpikir ini akan langsung menyebabkan resesi, tetapi dampaknya akan terasa. Konsumen akan merasakannya. Industri manufaktur juga akan terkena imbasnya.”
Tarif Resmi Berlaku Sabtu Dini Hari, Dampaknya Segera Terasa
Tarif universal 10% akan mulai diberlakukan pada Sabtu pukul 12:01 pagi EDT, disusul tarif resiprokal mulai berlaku pada 9 April. Banyak analis memperkirakan harga-harga barang impor akan mulai naik dalam waktu dekat.
“Peningkatan pendapatan pajak dan kenaikan harga akibat tarif akan mengurangi daya beli konsumen, yang pada akhirnya membebani pertumbuhan ekonomi dan perekrutan tenaga kerja sepanjang sisa tahun 2025,” kata Bill Adams, Kepala Ekonom Comerica Bank.
Tarif Bukan Hal Baru: Pernah Picu Depresi Besar
Tarif sebenarnya bukan kebijakan baru dalam sejarah perdagangan dunia. Pada abad ke-19, negara-negara menggunakan tarif untuk melindungi industri lokal dan mendorong pembangunan ekonomi.
Contoh awal yang menonjol adalah Perjanjian Cobden-Chevalier pada tahun 1860 antara Inggris dan Prancis.
Di Amerika Serikat, Undang-Undang Smoot-Hawley tahun 1930 sempat menaikkan tarif secara drastis, yang kemudian memicu aksi balasan dan memperparah krisis ekonomi global saat itu.
Pasca Perang Dunia II, Dunia Bergerak ke Arah Perdagangan Bebas
Setelah Perang Dunia II, negara-negara mulai menjauhi praktik proteksionisme. Mereka membentuk Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) pada 1947 untuk menurunkan tarif secara timbal balik dan mendorong kerja sama ekonomi.
Namun, kebijakan Trump hari ini membawa AS kembali ke pendekatan yang lebih protektif.
Perang Dagang Mengintai, Negara Lain Bisa Balas Tarif
Langkah agresif Trump dikhawatirkan akan memicu perang dagang baru. Beberapa negara yang terdampak berpotensi mengenakan tarif balasan terhadap produk-produk dari AS.
Jika ini terjadi, harga produk akan naik lebih tinggi, ekspor AS bisa terganggu, dan industri dalam negeri terancam.
Kebijakan yang Mengguncang, Dampaknya Masih Terus Dinanti
Kebijakan tarif timbal balik ini menjadi salah satu langkah perdagangan paling kontroversial di era Trump.
Meski tujuannya untuk memperkuat ekonomi nasional, risiko jangka panjang terhadap konsumen, produsen, dan stabilitas perdagangan global tidak bisa diabaikan.
Trump tetap yakin, dengan kebijakan ini, “sekarang giliran kita untuk makmur.”