Langit Jingga di Labuan
Za, sore itu aku ingin tak seorang pun tahu keberadaanku. Cukup kamu, aku, dan tentu saja Tuhan. Itu saja. Cukup!
Tak ada sesiapa—dan memang lebih baik tidak ada siapa-siapa, ketika aku menikmati tangisku yang datang. Langit masih jingga, terlebih rintik gerimis masih saja asyik berkejaran ke muka tanah.
Aku masih tak percaya kalau di sore di MoS adalah pertemuan terakhir kita. Aku merasakan separuh nyawaku berlarian keluar dari ubun-ubun ketika menerima kabar kamu benar-benar pergi. Kamu pergi, Za.
Mendadak, degup di jantungku terasa tak normal. Ada dag-dig-dug yang tak biasa. Ponselku luruh dari genggaman. Kamu kecelakaan. Bus Murni yang membawamu dari Serang ke Labuan menabrak pagar rumah penduduk. Aku dengar ada puluhan nyawa pergi sia-sia, tapi mengapa termasuk nyawamu di dalamnya, Za? Oh, aku sungguh tidak tahu melakukan apa ketika mendengar kabar kamu akan dimakamkan hari ini juga.
Duka yang menggumpal sejak tadi kini mencair. Aku menangis sepuasku, tanpa peduli puluhan atau mungkin ratusan pasang mata yang memperhatikanku sepanjang Serang—Labuan. Tahu apa mereka tentang mataku yang sembab, Za? Yang tahu tentang mataku hanya kamu. Ah, Zahara, ini sungguh berat untukku. Aku sandarkan kepalaku ke kaca bus. Menatap sore yang mulai membentang. Hatiku hampa, Za. Perasaan nestapaku seratus kali lebih pilu dibanding seorang anak kehilangan mainan kecintaannya. Engkau telah diminta Tuhan untuk menjadi bagian dari Hakikat-Nya. Kata-kata Kurnia Efendi itu pas betul menggambarkan suasana hatiku.
Bagaimana kabarmu di dalam sana, Za? Aku yakin kamu masih seperti dulu—masih anggun dengan wajah teduhmu dikala tidur. Ups! Maaf, aku lupa bercerita soal ini, kalau dulu, aku suka melabuhkan pandanganku ke wajahmu, ketika kamu tertidur pulas di sepanjang jalanan Serang—Labuan.
Atau barangkali kamu belum tidur? Sama seperti mataku yang saban malam begitu sulit untuk terpejam. Ai! Aku jadi ingat pembicaraan kita menjelang sore di terminal Pakupatan dulu. Waktu itu kita sama-sama menunggu bus Murni Jaya. Bus yang akan membawa kita ke Banten Selatan. Ke Labuan. Awalnya malu-malu, lalu aku beranikan diri menyapamu, diawali dengan senyum yang aku ramu semanis mungkin.
Kemuning tengah menghiasi langit Kota Serang saat kita mulai menduduki bangku apek bus Murni Jaya. Kamu memilih duduk dekat jendela. Katamu padaku, “aku di pojok, ya. Mau menikmati sore yang membentang.” Lalu aku selalu mengalah, bagiku kesenanganmu adalah berkah, Za. Bagaimana tidak, melihatmu tengah asyik menikmati hamparan sore, itu sebuah pemandangan yang jauh lebih asyik bagiku. Ah! Zahara, andai saja. Andai saja malam itu aku dan kamu berada dalam satu bus, andai saja aku tidak berani mengujimu dengan pura-pura marah, tentu saat ini kita masih sama-sama. Sama-sama ada dalam tiada.
(*Aku dedikasikan untuk korban tabrakan bus Murni, 11 April 2011 di Kampung Citayeum, Desa Palurahan, Kecamatan Kaduhejo-Jalur Serang—Labuan.