Techtimes Indonesia – Tren mengedit foto agar tampak seperti adegan film animasi Ghibli tengah viral di berbagai media sosial.
Di balik keindahannya yang magis, tren ini juga memunculkan diskusi hangat soal teknologi kecerdasan buatan (AI) dan etika dalam dunia kreatif.
Teknologi AI Bikin Foto Terlihat Seperti Film Ghibli
Tren ini muncul berkat kemajuan generative AI, seperti Midjourney dan DALL-E, yang mampu mengubah foto biasa menjadi ilustrasi ala Studio Ghibli hanya dalam hitungan detik.
Beberapa pengguna cukup mengunggah selfie, lalu memilih gaya visual “Ghibli-style fantasy background” agar gambar mereka berubah total.
Hal ini menunjukkan betapa pesatnya perkembangan teknologi AI dalam bidang visual arts, hingga membuat batas antara dunia nyata dan imajinasi semakin tipis.
Menurut TechCrunch, teknologi ini membuka jalan bagi banyak kreator amatir untuk merasakan pengalaman artistik yang sebelumnya sulit diakses tanpa keahlian menggambar.
Di Balik Tren, Ada Potensi Pelanggaran Hak Cipta
Namun, tren ini tidak bebas dari kontroversi. Studio Ghibli sendiri dikenal sangat menjaga orisinalitas karya-karyanya dan tidak memberikan lisensi terbuka untuk penggunaan gaya visualnya oleh pihak luar.
Beberapa ahli hak kekayaan intelektual (HKI) menilai bahwa penggunaan gaya visual yang sangat mirip dengan studio tertentu, tanpa izin eksplisit, berpotensi melanggar hak cipta atau artistic style appropriation.
Dosen hukum media dan kreatif dari Universitas Indonesia, Dita Aliffia, menyebut bahwa “meskipun AI tidak meniru satu gambar secara spesifik, meniru gaya artistik bisa menimbulkan konflik etis dan hukum.”
Hal ini semakin kompleks karena dalam hukum Indonesia, perlindungan terhadap gaya visual masih belum terlalu jelas dibandingkan negara-negara seperti Jepang atau Amerika.
Kreativitas VS Legalitas: Harus Pilih Salah Satu?
Kreativitas sering kali berlari lebih cepat daripada regulasi, dan tren ini adalah contoh paling nyata.
Namun, jika gaya visual itu jelas merujuk pada suatu entitas komersial seperti Studio Ghibli, diskusi seputar etika dan izin komersial menjadi penting.
Perdebatan ini mirip dengan isu sampling dalam musik, di mana potongan lagu digunakan dalam karya baru — dan itu pun harus melalui proses perizinan yang ketat.
Peluang Kolaborasi atau Ancaman bagi Seniman?
Sebagian orang melihat tren ini sebagai bentuk apresiasi terhadap Studio Ghibli, bukan eksploitasi.
Seniman digital lokal seperti Rizky Dwi, ilustrator dan AI explorer asal Yogyakarta, mengatakan bahwa AI bisa menjadi alat kolaboratif, bukan pengganti.
Menurutnya, “AI justru bisa membantu memperluas dunia visual Ghibli ke ranah-ranah baru yang mungkin tidak pernah terpikir sebelumnya.”
Namun, seniman tradisional ada juga yang merasa khawatir, karena karya manual kini bisa ditiru dalam hitungan detik tanpa keahlian menggambar.
Hal ini memicu diskusi soal keaslian karya, nilai seni, dan penghargaan terhadap proses kreatif.
Perlu Regulasi yang Adaptif dan Edukasi untuk Publik
Di tengah euforia penggunaan AI, penting bagi semua pihak — dari pengguna, kreator, hingga platform — untuk memahami pentingnya etika digital dan regulasi kekayaan intelektual.
Pemerintah perlu memperbarui kebijakan HKI agar mampu menampung dinamika teknologi seperti AI art, agar seniman dan masyarakat sama-sama terlindungi.
Selain itu, edukasi soal penggunaan teknologi kreatif yang bertanggung jawab harus lebih masif di sekolah, komunitas kreatif, maupun platform media sosial.
Dengan demikian, teknologi tidak menjadi alat eksploitasi, tapi jembatan menuju karya yang lebih inovatif dan inklusif.