Kalau kamu bertanya kenapa saya memilih MacBook, jawabannya bukan cuma soal desain atau hype semata. Bagi saya, ini lebih seperti perjalanan panjang dan penuh drama dengan laptop-laptop yang “biasa”—yang akhirnya membawa saya ke MacBook di tahun ketiga saya bekerja fulltime di dezainin.com.
Cerita ini dimulai beberapa tahun lalu, ketika saya masih sangat percaya bahwa laptop Windows adalah pilihan terbaik untuk pekerja kreatif seperti saya.
Waktu itu, saya rela menghabiskan belasan juta rupiah untuk membeli sebuah laptop Windows yang diklaim memiliki “segala yang dibutuhkan” untuk desain grafis, video editing, dan segala jenis pekerjaan berat yang saya geluti.
Ya, saya ini adalah mantan korban dari komentar “mendang-mending” yang hingga hari ini masih sering saya temukan di setiap konten ulasan laptop di YouTube. Menyebalkan!
Apa yang sebenarnya terjadi? Jangan ditanya. Kamu tahu? Setiap beberapa bulan, saya merasa seperti jadi bintang utama di acara reality show bertajuk “Ganti Komponen Laptop: Episode Tak Berujung.”
Satu per satu, komponen laptop itu mulai lemah. Layar tiba-tiba blur, performa turun drastis, dan kalau sudah begitu, saya harus menunggu lama untuk servis.
Itu baru laptopnya, belum lagi soal kualitas build yang gampang lecet karena casing plastik. Masih ingat betul, rasanya frustrasi sekali tiap kali komponen perlu diganti, ya SSD-lah, ya upgrade RAM-lah, dan tentu saja saya harus merogoh kocek lagi. Bikin sakit kepala, kan?
Saya menonton banyak video tutorial tentang pekerjaan yang saya tekuni di YouTube. Rata-rata menggunakan laptop dengan logo buah apple kroak.
Ada apa dengan Apple? Lalu, saya juga mendengar banyak teman sesama pekerja kreatif yang memuji MacBook—sering banget, sih sebenarnya, sampai akhirnya saya penasaran.
Saya coba dengar dan pelajari lebih lanjut, dan ternyata, teman-teman saya ini benar-benar tidak berbicara sembarangan.
Saya akan ceritakan hal ini secara jujur tanpa dibayar satu rupiah pun oleh Apple!
MacBook, Si Teman Kerja yang Tanpa Drama
Nah, jadi inilah cerita saya tentang bagaimana MacBook menyelamatkan saya. Tahun keempat saya pakai MacBook, dan… wow, semuanya berjalan mulus.
MacBook ini benar-benar membuktikan dirinya tidak hanya sebagai alat kerja, tapi juga sebagai investasi yang benar-benar berharga untuk mental saya sebagai pekerja kreatif.
Kenapa MacBook?
Yang pertama kali saya rasakan adalah kualitas build-nya. Dulu, saya terbiasa dengan laptop yang rasanya rapuh sekali, seperti barang yang siap pecah kalau jatuh sedikit. Tapi MacBook? Ini benar-benar berbeda. Begitu saya pertama kali memegangnya, saya tahu ini bukan sekadar alat.
Ini adalah “teman” yang siap mendukung setiap ide yang saya tuangkan ke layar. Tidak hanya desainnya yang elegan dan premium, MacBook ini solid—seperti teman yang bisa diandalkan dalam segala situasi.
Bicara soal layar, saya tidak perlu lagi merasa khawatir tentang kualitas warna yang muncul di layar. Dulu, saya sering mengedit foto atau desain di laptop dan ternyata, ketika hasilnya dicetak, warnanya jadi berbeda.
MacBook dengan layar Retina-nya benar-benar membuat perbedaan. Sekarang saya bisa bekerja dengan akurat, tidak perlu lagi bertaruh dengan tampilan warna yang “belum tentu” sesuai dengan yang saya inginkan.
Bekerja Tanpa Gangguan, Itu yang Saya Mau
Bahkan, hal yang paling saya nikmati adalah kenyamanan bekerja tanpa gangguan teknis yang bikin stres. Seperti yang saya bilang tadi, saya sudah merasakan bagaimana rasanya blue screen of death atau aplikasi yang tiba-tiba not responding di laptop Windows. Itu rasanya seperti mendapat tamparan keras yang langsung memutuskan konsentrasi saya.
Lebih-lebih ketika saya harus berhadapan dengan klien yang berisik dan pekerjaan harus saya serahkan dalam beberapa menit ke depan, tiba-tiba di depan mata saya muncul pesan Windows Update. Dan parahnya lagi, di zaman saya dulu itu (kalau sekarang saya tidak tahu, apakah Windows sudah belajar dari kekesalan penggunanya?), Windows Update mengharuskan saya untuk melakukan reboot sistem setelah melakukan update OS.
Ini menyebalkan? Tentu saja! Karena saya harus menunggu sekian menit sampai instalasi update OS selesai untuk bisa kembali bekerja secara normal.
Dengan MacBook, saya tidak pernah merasakan itu. Masalah seperti aplikasi crash atau laptop tiba-tiba freeze sudah jadi cerita masa lalu.
Kini, saya bisa fokus bekerja tanpa khawatir pekerjaan yang sudah saya buat hilang begitu saja. Dan kalau pun ada sedikit masalah—misalnya aplikasi yang agak lambat—macOS dengan mudah mengatasi dan memulihkan semuanya tanpa membuat saya khawatir data hilang.
Sehat Mental, Kerja Lebih Bahagia
MacBook juga berperan besar dalam menjaga kesehatan mental saya. Tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu yang menenangkan ketika saya duduk di depan MacBook. Mungkin ini karena sistem operasi macOS yang sangat user-friendly, atau mungkin karena saya tidak perlu repot-repot lagi mengutak-atik settingan atau menghadapi masalah teknis yang tak kunjung selesai.
Yang pasti, mental saya jauh lebih terawat sejak saya menggunakan MacBook. Saya merasa lebih produktif, lebih bahagia, dan jauh lebih kreatif. Serius, saya tidak lagi merasa seperti orang yang bekerja sambil menahan amarah terhadap perangkat yang tidak bisa diajak kompromi.
Saya rasa, ketenangan itu memberikan ruang bagi ide-ide kreatif untuk berkembang dengan lebih bebas. Tidak ada lagi ketakutan yang muncul ketika aplikasi berat seperti Adobe Photoshop atau Premiere Pro sedang berjalan. Semua bisa lancar tanpa gangguan teknis.
Personal Branding yang Kuat
Tentu saja, ada juga sisi lain yang tak kalah penting: personal branding. Bagi seorang freelancer seperti saya, laptop yang saya gunakan tenyata juga memberi dampak besar terhadap cara klien memandang saya.
Tunggu dulu, jangan terburu-buru mencela saya, “Halah! masih haus validasi?”
Ini bukan tentang validasi sosial atau pemenuhan kebutuhan narsis. Pengalaman saya sendiri, setelah saya beralih ke MacBook, ada perasaan lebih percaya diri—seperti tahu bahwa saya menggunakan alat yang “serius” untuk pekerjaan saya.
Ini bukan sekadar soal memilih alat yang “keren,” tapi soal menunjukkan bahwa saya berkomitmen untuk memberikan yang terbaik. MacBook menjadi simbol bahwa saya serius dalam pekerjaan kreatif dan memberikan kualitas terbaik di setiap proyek.
Terdengar sepele mungkin, tetapi sering kali, klien melihat hal-hal kecil seperti ini. MacBook membuat saya terlihat lebih profesional, dan terkadang, hal itu berpengaruh pada tawaran harga yang lebih tinggi.
Jadi, ya, MacBook bukan cuma alat kerja, tapi juga investasi dalam personal branding saya.
Baterai yang Gila! Saya Bisa Kerja Lebih Lama
Satu lagi yang saya suka, baterainya yang tahan lama. Sebagai seorang freelancer, saya sering bekerja di luar ruangan—kafe, coworking space, atau bahkan di taman. Saya nggak perlu repot mencari colokan listrik setiap saat, karena baterai MacBook bertahan cukup lama.
Dibandingkan dengan laptop Windows saya dulu yang suka minta cas setelah beberapa jam, MacBook bisa terus menemani saya berjam-jam tanpa khawatir kehabisan daya. Tidak ada lagi urusan perkabelan yang terus saya kundang kalau tiba-tiba pengin bekerja di kafe. Hidup terasa lebih simple dengan cukup menenteng tote bag berisi satu buah MacBook dan mouse wireless.
Jadi, begitulah cerita saya. Setelah bertahun-tahun bergelut dengan laptop biasa yang bikin frustrasi dan menyita banyak waktu (dan uang) hanya untuk merawatnya, saya menemukan ketenangan dan kebahagiaan bekerja dengan MacBook.
Jika kamu seorang pekerja kreatif yang ingin bekerja dengan lebih bahagia, dengan lebih banyak ruang untuk berkreasi, saya sangat merekomendasikan MacBook. Karena dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian, setidaknya kamu bisa punya satu hal yang pasti—yaitu MacBook yang siap membantu kamu mewujudkan semua ide dengan tenang dan penuh percaya diri.
Dan soal harga? Saya rasa, apa yang saya bayar untuk MacBook ini sebanding dengan kebahagiaan dan kenyamanan kerja yang saya rasakan. Tidak ada harga yang lebih mahal dari kesehatan mental yang terjaga. 😉