Washington DC, Techtimes Indonesia — Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan baru terkait tarif impor yang disebutnya sebagai Reciprocal Tariffs atau tarif timbal balik.
Kebijakan ini diumumkan langsung oleh Trump dari Rose Garden, Gedung Putih, dan mulai berlaku terhadap berbagai negara di dunia—termasuk Indonesia.
Tarif baru ini pada dasarnya menetapkan pungutan minimum sebesar 10 persen untuk semua barang impor yang masuk ke Amerika Serikat.
Namun, untuk negara-negara tertentu yang dinilai telah menerapkan tarif tinggi terhadap produk asal AS, diterapkan tarif yang lebih tinggi sebagai bentuk balasan.
Indonesia Masuk Daftar, Dikenai Tarif 32 Persen
Dalam pidatonya, Presiden Trump memaparkan daftar negara yang dikenai tarif balasan, lengkap dengan besaran masing-masing.
Menurut unggahan Gedung Putih di Instagram, Indonesia menempati posisi kedelapan dalam daftar tersebut dan akan dikenai tarif sebesar 32 persen.
Trump menyebut kebijakan ini sebagai bentuk koreksi terhadap ketimpangan perdagangan yang selama ini merugikan AS. “Beberapa negara sudah lama memberlakukan tarif sangat tinggi terhadap produk kami. Sekarang waktunya kami membalas,” ujar Trump, seperti dikutip dari siaran langsung Sky News.
Vietnam dan Kamboja Terkena Tarif Tertinggi
Negara yang dikenai tarif balasan tertinggi adalah Kamboja, yakni sebesar 49 persen. Sementara itu, Vietnam dikenai tarif sebesar 46 persen.
Trump menyoroti bahwa meskipun Vietnam memiliki hubungan dagang yang baik dengan AS, negara itu tetap mengenakan tarif hingga 90 persen untuk produk Amerika.
“Karena itu, kami akan membalas dengan tarif 46 persen,” tegas Trump.
Indef: Ekspor Indonesia Terancam Turun Tajam
Kebijakan tarif Trump ini dinilai akan berdampak langsung terhadap perdagangan Indonesia. Menurut Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pangsa pasar ekspor Indonesia ke Amerika Serikat mencapai rata-rata 10,3 persen per tahun, menjadikannya pasar ekspor terbesar kedua setelah Tiongkok.
“Dengan tarif tambahan, ekspor Indonesia jelas akan menurun. Sektor yang paling terdampak adalah tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, dan produk pertanian,” kata peneliti Indef, Eisha, dalam keterangan tertulis pada Kamis, 3 April 2025.
Dampak lanjutan dari penurunan ekspor tersebut adalah perlambatan produksi dan potensi pengurangan tenaga kerja di sektor-sektor terdampak.
Saran Indef: Perkuat Diplomasi Dagang dan Alihkan Pasar
Indef mendorong pemerintah untuk segera melakukan langkah diplomatik guna meredam dampak kebijakan tarif ini.
Negosiasi dagang dengan AS harus segera dimulai agar tarif yang dikenakan bisa diturunkan atau dikompensasikan dengan kesepakatan lain.
Selain itu, pemerintah juga perlu:
- Mengoptimalkan perjanjian dagang bilateral dan multilateral,
- Menjajaki kerja sama baru dengan negara-negara non-tradisional,
- Membuka pasar baru untuk produk ekspor yang terdampak.
“Kekuatan negosiasi diplomatik akan sangat menentukan. Produk-produk seperti tekstil, furnitur, dan elektronik harus segera mencari pasar alternatif,” ujar Eisha.
Hipmi: Diversifikasi Pasar Ekspor Jadi Kunci
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Anggawira, menekankan pentingnya percepatan perjanjian dagang dengan kawasan lain seperti Uni Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.
“Diversifikasi pasar ekspor harus jadi prioritas untuk mengurangi ketergantungan terhadap AS,” kata Anggawira.
Menurutnya, dalam jangka pendek pemerintah juga perlu menjaga kepercayaan pelaku pasar melalui stabilisasi kebijakan dan pemberian insentif bagi dunia usaha yang terdampak.
Manfaatkan RCEP untuk Perluas Akses Pasar
Anggawira juga menyarankan pemerintah memaksimalkan pemanfaatan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), sebuah perjanjian dagang terbesar di Asia Pasifik yang melibatkan 15 negara dan mencakup sepertiga ekonomi global.
“RCEP bisa menjadi jalur alternatif bagi ekspor Indonesia, terutama di tengah tekanan tarif dari AS,” ujarnya.
Respons Cepat Jadi Penentu
Trump menyebut kebijakan tarif ini sebagai “Hari Pembebasan” bagi industri Amerika. Namun di sisi lain, kebijakan ini bisa memunculkan ketidakpastian ekonomi global—termasuk bagi Indonesia.
“Pemerintah harus merespons cepat dan konkret. Tanpa langkah nyata, risiko perlambatan ekonomi akan makin besar,” ujar Anggawira menutup pernyataannya.